Menu
Your Cart

Sayap-Sayap Patah

Sayap-Sayap Patah
100% ORIGINAL
Sayap-Sayap Patah
Rp49,000
Rp35,280
Hemat Rp13,720 (28%)
Pengiriman Ke DKI JAKARTA
Ongkos Kirim Rp 0
Khusus member Grobprime (GRATIS TRIAL)
JOIN

Deskripsi

Dengan sensitivitasnya yang luar biasa, Kahlil Gibran merajut sebuah kisah cinta tentang sepasang kekasih yang indah dan menggelora. Namun, cinta mereka bukanlah tanpa halangan. Tradisi, tabu, politik, dan ketidakadilan menjadi penghalang bagi keduanya untuk bersatu.

Sederhana, tetapi penuh makna. Itulah yang membuat karya Gibran begitu dekat di hati pembacanya. Diterjemahkan secara langsung oleh Sapardi Djoko Damono, penyair legendaris Indonesia, menjadikan napas liris dan puitis di dalam buku ini tetap semakin terasa keindahannya.

Inilah salah satu kisah cinta paling megah dan paling dikenal sepanjang masa, yang sering disandingkan bersama Romeo & Juliet karya William Shakespeare.


Pengantar Penerjemah

Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Arab, berjudul Al-Ajnihah al-mutakassirah, terbit kali pertama pada 1922; versi bahasa Inggris-nya berjudul Broken Wings. Seperti halnya Almustafa, buku ini telah muncul dalam beberapa versi bahasa Indonesia dan tentunya juga merupakan salah satu best seller karya Gibran. Sastrawan Amerika Lebanon ini bersama orang tuanya bermigrasi ke Benua Baru pada 1895 ketika usianya 12 tahun dan tinggal di Boston, tetapi kemudian kembali ke Lebanon untuk belajar di Beirut dan kembali ke Amerika lagi pada 1912, untuk selanjutnya menetap di New York. Fiksi yang terbit sebelum Almustafa dan Yesus Anak Manusia ini menunjukkan ciri yang berbeda dari kedua buku yang ditulisnya dalam bahasa Inggris itu. Jika dalam kedua buku berbahasa Inggris itu kita bertemu dengan Gibran yang menciptakan tokoh-tokoh manusia sempurna, yang salah satunya bahkan dikembangkannya dari Perjanjian Baru, dalam buku ini ia menciptakan manusia biasa yang mengalami pasang surut kehidupan sehari-hari. Tokoh utama yang diciptakannya adalah sepasang kekasih yang hidup pada abad ke-20, yang mengalami nasib sama dengan yang dialami tokoh-tokoh rekaan lain seperti pasangan Pranacitra-Roro Mendut, Sam-pek-Ing-thay, serta Romeo-Juliet. Bedanya adalah bahwa tokoh utama yang sekaligus menjadi narator dalam kisah ciptaan Gibran ini tidak mati, tetapi menyaksikan kematian pasangannya. Itulah sebabnya ia bisa bercerita kepada kita.


Dalam “Kata Awal” buku ini antara lain ditulisnya, “Oh, sahabat-sahabat masa mudaku yang tersebar di Kota Beirut, jika kalian melewati makam di dekat hutan pinus, masuklah tanpa bersuara dan berjalanlah perlahan sehingga langkah kalian tidak akan mengganggu tidur orang mati, dan berhentilah dengan rendah hati di pusara Selma dan sapulah viiitanah yang menutupi jasadnya dan sebut namaku dengan tarikan napas yang dalam dan katakan kepada diri kalian sendiri, ‘Di sini, semua harapan Gibran, yang hidup sebagai tawanan cinta melampaui lautan, dikuburkan. Tepat di sini laki-laki itu kehilangan kebahagiaan, mengering air matanya, dan tak ingat lagi pada senyumnya.’” Bagian ini merupakan semacam penjelasan bahwa si tokoh utama, yang dalam bagian-bagian selanjutnya tidak bernama, adalah Gibran. Dengan demikian, kisah ini adalah penggalan dari riwayat hidupnya. Namun, harus dipertimbangkan bahwa itu adalah salah satu teknik penulisan fiksi belaka, dan karenanya buku ini harus diterima sebagai cerita rekaan, meskipun bisa saja didasarkan pada orang yang benar-benar ada, yakni si penulis. Ini pada dasarnya tidak berbeda dengan kasus Yesus Anak Manusia. Sayap-Sayap Patah, yang adalah sebuah kisah yang sederhana anasir fisiknya, mengungkapkan hubungan-hubungan antara sepasang kekasih dan ayah seorang gadis yang bernama Selma serta keluarga seorang Uskup. Si narator menjalin cinta yang luar biasa dalam dan tulus dengan anak seorang kaya, tetapi hubungan itu diputus oleh keinginan sang Uskup untuk mengambil gadis itu bagi kemenakannya. Kisah selanjutnya bisa dibayangkan dengan mudah, yakni kegagalan cinta muda mudi yang diakhiri dengan kesengsaraan dan dukacita, bahkan dengan kematian Selma—meskipun bukan karena cinta itu sendiri, melainkan karena melahirkan. Mungkin saja bagi kita kisah semacam itu terlalu sederhana; kisah Romeo dan Juliet, misalnya, jauh lebih rumit strukturnya. Namun, ada ciri yang sangat khas pada Gibran dalam cara pengungkapannya, yakni penggunaan bahasa yang sangat metaforis. Bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan segala jenis perasaan itu menggunakan begitu banyak jenis perbandingan, yang beberapa di antaranya memang harus diakui menakjubkan. Bagi sementara pengamat sastra, barangkali ciri inilah yang menyebabkannya digolongkan sebagai karya sastra yang mediocre “tak bagus”, sebab penggunaan bahasa yang demikian cenderung menimbulkan kecengengan.


Kecenderungan berbahasa yang dipergunakan Gibran dalam buku ini agak berbeda dengan yang dipergunakannya dalam dua karya yang sudah disebut sebelumnya, yang ditulis dalam bahasa Inggris. Di samping kenyataan bahwa Sayap-Sayap Patah ini ditulis sebelum kedua buku itu, yang mungkin saja masih menunjukkan kelemahan teknik penulisannya, ada satu hal penting yang harus disinggung, yakni tradisi penulisan dalam bahasa Arab. Saya curiga jangan-jangan Gibran telah menggunakan teknik penulisan yang merupakan konvensi dalam sastra Arab klasik. Kisah yang luar biasa mengharukannya ini bagi saya merupakan rangkaian dan timbunan segala jenis perbandingan, dan kisah yang sangat sederhana itu hanyalah merupakan sangkutan bagi Gibran untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam menciptakan bahasa yang sangat metaforis. Cinta adalah tema utama dalam kisah ini, tetapi Gibran juga menyelipkan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasib perempuan, penindasan, ketidakadilan, dan korupsi yang terjadi di Lebanon. Dan, dalam kisah ini semua itu bersumber pada penguasa agama, yakni Uskup. Gibran juga menyinggung masalah moral yang muncul justru karena masyarakat telah menciptakan aturan dan hukum yang pada akhirnya membelenggunya sendiri. Mengenai hubungan gelap si tokoh dengan Selma setelah kekasihnya itu menikah, misalnya, Gibran dengan panjang lebar mengutarakan hal yang tentu dianggap kontroversial oleh khalayak ramai. Di samping kisah cinta yang sederhana, hal-hal “sampingan” semacam itu mungkin bisa juga kita pakai sebagai acuan untuk mempertimbangkan kembali berbagai segi tatanan sosial yang telah kita sepakati bersama.

Ulasan

Tulis Ulasan

Silahkan login atau daftar untuk mengulas