Di Atas Rasa

Bagi Mahawira Hasta (Hasta), sanubari milik Rainaya Sukma Wibisono (Naya) adalah selayaknya lautan rasa yang membuai dalam riak renjana. Naya yang pernah terluka karena cinta, pada akhirnya hanya kembali membuka hati untuk seorang Hasta. Di balik kondisi fisik Hasta yang tak lagi bisa disebut “biasa”, Naya justru hanya melihat makna yang begitu subtil di dalam kalbu pemuda itu. Sebuah makna yang pada suatu masa mengantar Naya pada cerita kelam masa lampau yang selama ini tersembunyi rapat-rapat dalam dunianya yang penuh ironi.

Bagi Ratnamaya Hawa (Hawa), bunga panca warna biru adalah analogi dari dunianya yang selama lima tahun belakangan dipenuhi perasaan kecewa dan takut. Rasa bersalah yang terus mengendap di batin semenjak tragedi yang mengubah dunianya dan Hasta di lima tahun silam, pada akhirnya tak henti membuat Hawa terus melihat Hasta sebagai sosok rapuh yang harus selalu dilindungi. Hingga pada suatu waktu, di tempat yang tak pernah ia sangka, Hawa menemukan bunga panca warna merahnya—seseorang yang membawa pesan harapan. Akankah hari-hari penuh rasa bersalah dan mimpi-mimpi buruk itu berakhir?

Perihal perihnya kekecewaan dan kehilangan, ketiganya adalah yang kini tengah saling mengobati. Perihal sejuknya harapan dan penerimaan, mereka hanyalah yang masih terus mencari. Adalah mereka yang merangkum kisahnya di atas rasa.